Menurut Yudhi, sikap revolusioner IPPHOS adalah perjuangan demi kemanusiaan dan kebenaran serta toleransi.
“Tapi yang paling revolusioner dari IPPHOS adalah bagaimana mereka mengguratkan cita-cita tentang Indonesia dan manusia Indonesia yang cerdas, moderen dan inklusif dalam karya-karyanya – yang berjuang bukan cuma atas nama kemerdekaan dan keadilan bagi dirinya sendiri namun juga demi kemanusiaan, kebenaran, dan toleransi terhadap semua manusia,” kata Yudhi.
Yudhi menunjukkan bagaimana sikap revolusioner “tole-tole” Minahasa ini di IPPHOS. Alex, kata Yudhi, adalah seorang profesional “mencampakkan segala kenyamanan yang bisa ia capai sebagai pegawai Belanda demi membela sebuah republik kere.”
Frans, ‘si pelarian politik membangun ketrampilan melawan penjajah justru dengan bekerja untuk penjajah. Justus Umbas, seorang akuntan serius, “yang diam-diam seorang aktivis yang ditakuti Belanda. Dan “Nyong” Umbas yang melawan Belanda dengan menjadikan Belanda kawannya.”
Sampai akhir hayat, para ‘revolusioner’ ini tetap konsisten pada idealisme jurnalisme. Mereka tetap independen. Tidak memilih menjadi pegawai negeri pada Kementerian Penerangan RI, meski peluang itu sangat terbuka lebar.
“IPPHOS tetap independen, di kala kesempatan bagi Mendur Bersaudara terbuka luas untuk meraup lebih banyak uang dengan bekerja untuk media asing,” tulis Kristupa.