Bagaimana seorang Komandan Brigade Divisi Siliwangi marah besar ketika para prajuritnya dihina sebagai perampok oleh tentara Belanda.
Penulis:
Hendi Jo
KENDATI sudah berpangkat Letnan Kolonel, Alex Evert Kawilarang terbilang masih muda saat itu. Usianya baru 28 tahun. Jiwanya sedang bergelora. Semangat untuk berperang dengan Belanda pun tengah tinggi-tingginya.
Namun tiba-tiba di suatu hari pada awal 1948, Komandan Brigade II Surjakantjana Divisi Siliwangi mendapat perintah dari atasannya di Markas Besar Tertinggi Yogyakarta: harus keluar hutan, berdamai dengan Belanda lalu pergi ke hijrah ke Jawa Tengah.
“Bukan main bencinya saya, ketika mendengar kabar itu. Seperti halilintar di siang bolong rasanya. Tapi kami mampu menguasai diri: tunduk kepada perintah atasan, perintah pusat,” ujar Alex Evert Kawilarang dalam otobiografinya, Untuk Sang Merah Putih (disusun oleh Ramadhan KH).
Tentara Belanda sinis pada Pasukan TNI
Memasuki Februari 1948, pasukan Siliwangi yang dipimpin Alex Evert Kawilarang mulai keluar dari hutan dan gunung di wilayah selatan Cianjur dan Sukabumi.
Kekuatan mereka sekitar 5.000 prajurit. Sebagai titik kumpul adalah Sukanagara. Dari sana mereka bergerak menuju wilayah Padalarang.